Rabu, 19 Juni 2019

Perbedaan Jasa Konstruksi pada PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2)


Berikut ini beberapa tafsiran terkait dengan perbedaan jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dalam Pasal 4 ayat (2) dengan Pasal 23 :


1.    Perbedaan Subjek Pajak
               
Apabila mengacu dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh, atas penghasilan jasa konstruksi diatur dalam :
·          Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang PPh,dan
·          Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang PPh
Adapun perbedaan dari isi kedua pasal tersebut terletak pada kata “usaha” 

Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang PPh
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Walaupun jenis objek diatas sama yaitu jasa konstruksi, akan tetapi jika melihat adanya perbedaan kata “usaha” pada kedua pasal diatas, maka menurut hemat kami perbedaan tersebut dapat mengacu pada subjek pajak yang memberikan usaha jasa konstruksi atau jasa konstruksi.


2.   Perbedaan Definisi Jasa Konstruksi 

Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh, pengenaan usaha jasa konstruksi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi.  Sedangkan pengenaan jasa konstruksi dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 141/PMK.03/2015. Berikut ini perbedaan definisi jasa konstruksi pada masing-masing ketentuan diatas :

Jenis Pajak
PPh Pasal 4 (2)
PPh Pasal 23
Dasar Hukum
Pasal 1 angka 4, 5, dan 6 PP 51 Tahun 2008
Pasal 1 ayat (6) huruf y dan z PMK 141/PMK.03/2015
Isi
4.  Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
y.   Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi

5.   Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
z.   Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi

6.    Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.


Pada PP 51 Tahun 2008, pengertian usaha jasa konstruksi mengandung kata “yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan/pelaksanaan/pengawasan jasa konstruksi”.  Oleh sebab itu kami berpendapat bahwa sejatinya pengenaan PPh Final atas usaha jasa konstruksi ditujukan kepada Orang Pribadi atau Badan yang telah mendapatkan penilaian sebagai profesional dalam bidang konstruksi.  Hal ini pun ditegaskan dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008, dimana salah satu wujud dari pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa konstruksi yang dibuktikan dengan adanya Sertifikat Badan Usahan (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).

Kemudian mengacu pada Pasal 1 ayat (6) huruf y dan huruf z PMK 141/PMK.03/2015 definisi jasa konstruksi yang merupakan objek PPh Pasal 23 ialah jasa selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. 


3. Penentuan Objek PPh Atas Jasa Konstruksi

Pasal 1 PMK Nomor 141/PMK.03/2015 menyebutkan bahwa :

“Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.”

Berdasarkan ketentuan diatas, apabila terdapat jenis jasa lain yang sejatinya merupakan objek PPh Pasal 21 maka imbalan sehubungan dengan jasa yang tercantum dalam PMK Nomor 141/PMK.03/2016 tidak lagi dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Adapun letak perbedaan pengenaan PPh ini yaitu pada penerima penghasilan yaitu :

Dasar Hukum
Pasal 1 ayat (3) huruf a atau b PMK 141/PMK.03/2015
Pasal 1 angka 3 PER 16/PJ/2016
Objek PPh
PPh Pasal 23
PPh Pasal 21
Subjek PPh
Wajib Pajak badan dalam Negeri atau bentuk Usaha Tetap
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

Pasal 2 PMK Nomor 141/PMK.03/2015 menyebutkan bahwa :

“Dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal imbalan sehubungan dengan jasa lain tersebut telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri.”

Berdasarkan ketentuan diatas terlihat jelas bahwa apabila terdapat imbalan jenis jasa yang pada dasarnya sudah merupakan objek PPh Pasal 4 (2) yang bersifat Final maka tidak lagi dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, untuk mengklasifikasikan jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final, salah satunya jasa konstruksi maka pihak pemotong harus mengkategorikan terlebih dahulu apakah jasa konstruksi tersebut masuk dalam kategori objek PPh Final. Seperti yang telah dijelaskan pada poin 2, atas usaha jasa konstruksi dikenakan PPh Final apabila telah mendapatkan pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa konstruksi yang dibuktikan dengan adanya Sertifikat Badan Usahan (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). 

Apabila pemberi jasa konstruksi tersebut tidak memiliki keahlian jasa konstruksi yang dinyatakan melalui LPJK, maka pemotong dapat mengkategorikan jasa konstruksi tersebut dalam objek PPh Pasal 23 sepanjang pemberi jasa merupakan subjek pajak badan. Berikut ini simpulan terkait pengenaan objek PPh atas Jasa Konstruksi.

Dasar Hukum
Pasal 1 PP 51 Tahun 2008
Pasal 1 ayat (3) huruf a atau b PMK 141/PMK.03/2015
Pasal 1 angka 3 PER 16/PJ/2016
Objek PPh
PPh Pasal 4 (2) Final
PPh Pasal 23
PPh Pasal 21
Pemberi Jasa
Orang Pribadi atau Badan
Badan
Orang Pribadi
Syarat Lainnya
Memiliki SIUJK
Tidak Memilik SIUJK
Tidak Memiliki SIUJK



Ketentuan PPh Final Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan bila pemberi jasa (pengusaha jasa konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau sertifikasi jasa konstruksi dari lembaga berwenang (misalnya LPJK). Jika izin atau sertifikat (SBU) itu masih berlaku, tarif yang diterapkan adalah:
2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi menengah atau besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil, menengah atau besar).

Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak berlaku, misalnya karena pengusaha alpa atau lalai untuk melakukan registrasi ulang atau lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final yang diterapkan adalah:
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.

Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi tidak memiliki izin atau sertifikasi dari lembaga berwenang (tidak memiliki SBU dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya bukanlah PPh Final seperti di atas melainkan:
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak orang pribadi)