Berikut ini
beberapa tafsiran terkait dengan perbedaan jasa konstruksi yang dikenakan Pajak
Penghasilan (PPh) dalam Pasal 4 ayat (2) dengan Pasal 23 :
1. Perbedaan Subjek Pajak
1. Perbedaan Subjek Pajak
Apabila mengacu dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh, atas penghasilan jasa konstruksi diatur dalam
:
·
Pasal 4 ayat (2) huruf d
Undang-Undang PPh,dan
·
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2
Undang-Undang PPh
Adapun
perbedaan dari isi kedua pasal tersebut terletak pada kata “usaha”
Pasal 4 ayat (2) huruf d
Undang-Undang PPh
|
Penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha
real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
|
Pasal 23 ayat (1) huruf c
Undang-Undang PPh
|
imbalan sehubungan dengan
jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.
|
Walaupun jenis objek diatas sama yaitu
jasa konstruksi, akan tetapi jika melihat adanya perbedaan kata “usaha” pada
kedua pasal diatas, maka menurut hemat kami perbedaan tersebut dapat mengacu
pada subjek pajak yang memberikan usaha jasa konstruksi atau jasa konstruksi.
2. Perbedaan Definisi Jasa Konstruksi
Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh, pengenaan usaha jasa konstruksi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Sedangkan pengenaan jasa konstruksi dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 141/PMK.03/2015. Berikut ini perbedaan definisi jasa konstruksi pada masing-masing ketentuan diatas :
Jenis
Pajak
|
PPh Pasal
4 (2)
|
PPh Pasal
23
|
Dasar
Hukum
|
Pasal 1
angka 4, 5, dan 6 PP 51 Tahun 2008
|
Pasal 1
ayat (6) huruf y dan z PMK 141/PMK.03/2015
|
Isi
|
4. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa
oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional
di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan
pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
|
y. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan,
listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
|
5. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa
oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional
di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan
atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi
terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and
construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design
and build).
|
z. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin,
peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
|
|
6. Pengawasan konstruksi adalah pemberian
jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan
pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai
dan diserahterimakan.
|
Pada PP 51 Tahun 2008, pengertian
usaha jasa konstruksi mengandung kata “yang dinyatakan ahli yang profesional di
bidang perencanaan/pelaksanaan/pengawasan jasa konstruksi”. Oleh sebab
itu kami berpendapat bahwa sejatinya pengenaan PPh Final atas usaha jasa
konstruksi ditujukan kepada Orang Pribadi atau Badan yang telah mendapatkan
penilaian sebagai profesional dalam bidang konstruksi. Hal ini pun
ditegaskan dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a Tahun
2008, dimana salah satu wujud dari pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa
konstruksi yang dibuktikan dengan adanya Sertifikat Badan Usahan (SBU) yang
diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
Kemudian mengacu pada Pasal 1 ayat (6) huruf y dan huruf z PMK 141/PMK.03/2015 definisi jasa konstruksi yang merupakan objek PPh Pasal 23 ialah jasa selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Kemudian mengacu pada Pasal 1 ayat (6) huruf y dan huruf z PMK 141/PMK.03/2015 definisi jasa konstruksi yang merupakan objek PPh Pasal 23 ialah jasa selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
3. Penentuan Objek PPh Atas Jasa Konstruksi
Pasal 1 PMK Nomor 141/PMK.03/2015 menyebutkan bahwa :
“Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2%
(dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.”
Berdasarkan ketentuan diatas, apabila terdapat jenis jasa lain yang sejatinya merupakan objek PPh Pasal 21 maka imbalan sehubungan dengan jasa yang tercantum dalam PMK Nomor 141/PMK.03/2016 tidak lagi dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Adapun letak perbedaan pengenaan PPh ini yaitu pada penerima penghasilan yaitu :
Dasar Hukum
|
Pasal 1 ayat (3) huruf a atau b PMK 141/PMK.03/2015
|
Pasal 1 angka 3 PER 16/PJ/2016
|
Objek PPh
|
PPh Pasal 23
|
PPh Pasal 21
|
Subjek PPh
|
Wajib Pajak badan dalam
Negeri atau bentuk Usaha Tetap
|
Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri
|
Pasal 2 PMK Nomor 141/PMK.03/2015 menyebutkan bahwa :
“Dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal imbalan sehubungan dengan jasa lain tersebut telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri.”
Berdasarkan ketentuan diatas
terlihat jelas bahwa apabila terdapat imbalan jenis jasa yang pada dasarnya
sudah merupakan objek PPh Pasal 4 (2) yang bersifat Final maka tidak lagi
dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, untuk mengklasifikasikan
jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final, salah satunya jasa konstruksi maka
pihak pemotong harus mengkategorikan terlebih dahulu apakah jasa konstruksi
tersebut masuk dalam kategori objek PPh Final. Seperti yang telah dijelaskan
pada poin 2, atas usaha jasa konstruksi dikenakan PPh Final apabila telah
mendapatkan pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa konstruksi yang
dibuktikan dengan adanya Sertifikat Badan Usahan (SBU) yang diterbitkan oleh
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
Apabila pemberi jasa konstruksi tersebut tidak memiliki keahlian jasa konstruksi yang dinyatakan melalui LPJK, maka pemotong dapat mengkategorikan jasa konstruksi tersebut dalam objek PPh Pasal 23 sepanjang pemberi jasa merupakan subjek pajak badan. Berikut ini simpulan terkait pengenaan objek PPh atas Jasa Konstruksi.
Dasar Hukum
|
Pasal 1 PP 51 Tahun 2008
|
Pasal 1 ayat (3) huruf a atau b PMK 141/PMK.03/2015
|
Pasal 1 angka 3 PER 16/PJ/2016
|
Objek PPh
|
PPh Pasal 4 (2) Final
|
PPh Pasal 23
|
PPh Pasal 21
|
Pemberi Jasa
|
Orang Pribadi atau Badan
|
Badan
|
Orang Pribadi
|
Syarat Lainnya
|
Memiliki SIUJK
|
Tidak Memilik SIUJK
|
Tidak Memiliki SIUJK
|
Ketentuan PPh Final Jasa Konstruksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 51 Tahun 2008 jo.
PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan bila pemberi jasa (pengusaha jasa
konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau sertifikasi jasa konstruksi dari
lembaga berwenang (misalnya LPJK). Jika izin atau sertifikat (SBU) itu masih
berlaku, tarif yang diterapkan adalah:
2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi menengah atau besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil, menengah atau besar).
2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi menengah atau besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil, menengah atau besar).
Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak
berlaku, misalnya karena pengusaha alpa atau lalai untuk melakukan registrasi
ulang atau lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final yang diterapkan adalah:
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.
Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi
tidak memiliki izin atau sertifikasi dari lembaga berwenang (tidak memiliki SBU
dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya bukanlah PPh Final seperti di atas
melainkan:
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak orang pribadi)
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak orang pribadi)